PON-KLIWON
Hari sudah malam ketika Pon mengetuk rumah Kliwon. Suara
jangkrik di sawah seperti jamaah yang sedang berwirid di Langgar. Pintu yang
hanya terbuat dari triplek itu berkeriyet-keriyet ketika di buka.
“Ada apa, Yu?” Kliwon membenahi gulungan sarungnya. Pipinya
bergaris-garis bekas bantal.
“Maaf, Kang. Malam ini, apa boleh aku tidur di sini?” Pon
berkali-kali menoleh ke belakang seolah takut seseorang mengikuti.
Kliwon membuka pintunya lebih lebar. Kepalanya dihentak
ke arah dalam, berisyarat pada Pon agar segera masuk. Ia lekas-lekas menutup
pintu begitu badan Pon sudah ada di dalam rumah sepenuhnya. Mata Pon
berkeliaran ke seluruh sudut rumah sebelum duduk.
“Ten sudah tidur.” Kliwon menjawab sebelum Pon bertanya.
“Ada apa lagi? Apa Kang Min memukulmu lagi?”
Pon menggeleng, “Kang Min kuikat di ranjang ketika pulas
karena kuberi CTM.”
“Kau sudah gila, Yu?” Teriak Kliwon tertahan, takut
membangunkan istrinya.
“Dia yang mulai tidak waras, Kang.” Pon mulai menangis
tanpa suara.
“Lho, ini ada apa to?” Ten tiba-tiba sudah berdiri di
pintu kamarnya yang langsung terhubung dengan ruang tamu.
Kliwon mengisyaratkan agar Ten membawa Pon masuk ke kamar
mereka. Percuma menanyai Pon kalau dia
sudah mulai menangis. Lebih baik membiarkannya beristirahat, besok pagi-pagi akan
kutanyai dia. Begitu batin Kliwon. Malam ini dia akan tidur di lincak ruang
tamu.
***
Suara kokok ayam sudah lebih dulu berbunyi ketimbang
adzan di Langgar. Sepagi itu, seperti biasa Ten sudah menyalakan tungkunya.
Mulai merebus air untuk mengaru
tanakan nasinya nanti, sekalian untuk membuat wedang. Bedanya, kali ini yang
pergi ke sumur mencuci beras bukan dirinya, melainkan kembaran suaminya. Pon
dan Kliwon adalah kembar yang berjarak dua hari.
Subuh itu, Kliwon mengimami Ten, Pon, dan dua anaknya
yang juga kembar. Pon begitu khusyuk dalam doanya. Air matanya mulai menetes. Beberapa
kali Pon menghirup napas dalam-dalam berusaha mengusir tonjolan yang mengisi
dadanya. Anak-anak Kliwon melirik penasaran. Tak berani bertanya-tanya, takut
Bapaknya mengamuk. Mereka segera bubar ketika doa subuh itu usai.
Kliwon menghirup wedang jahenya. Menontoni Pon dan Ten
memotong-motong sayuran dan menyiapakan bumbu-bumbu. Anak kembarnya sedang
bersih-bersih halaman seperti biasanya. Mereka anak-anak perempuan yang
penurut.
“Ayo, kuantar pulang, Yu...” Ujar Kliwon akhirnya.
“Tunggu matahari lebih tinggi ya, Kang. Aku masih takut.”
“Ada, apa to sebenarnya, Yu?” Ten ikut bertanya.
“Kang Min yang tiga hari lalu tidak pulang-pulang rupanya
pergi ke dukun di Kali Sekar. Kali ini syaratnya lebih aneh-aneh, Yu. Mungkin
Kang Min tidak benar-benar ketemu dukun, tapi kesambet demit Kali Sekar.”
“Memangnya apa yang diperbuat Kang Min?” Kliwon
menyelidik.
Seluruh peristiwa itu masih lekat di mata Pon. Pon tidak
menangis. Ceritanya lancar sekali. Hari itu, suaminya sudah di rumah ketika Pon
pulang untuk sholat dhuhur dari sawah. Duduk di kursi ruang tamu menungguinya
pulang. Di meja ada bungkusan kain putih dan kendi. Pon ingin sekali menghambur
memeluknya, tapi dia tak berani. Mata suaminya masih sama menatap nyalang dan
menikam selama 5 tahun terakhir ini. Kang Minnya ingin sekali punya anak dari
dulu.
#Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar