Jumat, 11 Desember 2015

CERITA BERSAMBUNG "Pon-Kliwon"


PON-KLIWON 
 

Hari sudah malam ketika Pon mengetuk rumah Kliwon. Suara jangkrik di sawah seperti jamaah yang sedang berwirid di Langgar. Pintu yang hanya terbuat dari triplek itu berkeriyet-keriyet ketika di buka.
“Ada apa, Yu?” Kliwon membenahi gulungan sarungnya. Pipinya bergaris-garis bekas bantal.
“Maaf, Kang. Malam ini, apa boleh aku tidur di sini?” Pon berkali-kali menoleh ke belakang seolah takut seseorang mengikuti.
Kliwon membuka pintunya lebih lebar. Kepalanya dihentak ke arah dalam, berisyarat pada Pon agar segera masuk. Ia lekas-lekas menutup pintu begitu badan Pon sudah ada di dalam rumah sepenuhnya. Mata Pon berkeliaran ke seluruh sudut rumah sebelum duduk.
“Ten sudah tidur.” Kliwon menjawab sebelum Pon bertanya. “Ada apa lagi? Apa Kang Min memukulmu lagi?”
Pon menggeleng, “Kang Min kuikat di ranjang ketika pulas karena kuberi CTM.”
“Kau sudah gila, Yu?” Teriak Kliwon tertahan, takut membangunkan istrinya.
“Dia yang mulai tidak waras, Kang.” Pon mulai menangis tanpa suara.
“Lho, ini ada apa to?” Ten tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamarnya yang langsung terhubung dengan ruang tamu.
Kliwon mengisyaratkan agar Ten membawa Pon masuk ke kamar mereka. Percuma menanyai Pon kalau dia sudah mulai menangis. Lebih baik membiarkannya beristirahat, besok pagi-pagi akan kutanyai dia. Begitu batin Kliwon. Malam ini dia akan tidur di lincak ruang tamu.
***
Suara kokok ayam sudah lebih dulu berbunyi ketimbang adzan di Langgar. Sepagi itu, seperti biasa Ten sudah menyalakan tungkunya. Mulai merebus air untuk mengaru tanakan nasinya nanti, sekalian untuk membuat wedang. Bedanya, kali ini yang pergi ke sumur mencuci beras bukan dirinya, melainkan kembaran suaminya. Pon dan Kliwon adalah kembar yang berjarak dua hari.
Subuh itu, Kliwon mengimami Ten, Pon, dan dua anaknya yang juga kembar. Pon begitu khusyuk dalam doanya. Air matanya mulai menetes. Beberapa kali Pon menghirup napas dalam-dalam berusaha mengusir tonjolan yang mengisi dadanya. Anak-anak Kliwon melirik penasaran. Tak berani bertanya-tanya, takut Bapaknya mengamuk. Mereka segera bubar ketika doa subuh itu usai.
Kliwon menghirup wedang jahenya. Menontoni Pon dan Ten memotong-motong sayuran dan menyiapakan bumbu-bumbu. Anak kembarnya sedang bersih-bersih halaman seperti biasanya. Mereka anak-anak perempuan yang penurut.
“Ayo, kuantar pulang, Yu...” Ujar Kliwon akhirnya.
“Tunggu matahari lebih tinggi ya, Kang. Aku masih takut.”
“Ada, apa to sebenarnya, Yu?” Ten ikut bertanya.
“Kang Min yang tiga hari lalu tidak pulang-pulang rupanya pergi ke dukun di Kali Sekar. Kali ini syaratnya lebih aneh-aneh, Yu. Mungkin Kang Min tidak benar-benar ketemu dukun, tapi kesambet demit Kali Sekar.”
“Memangnya apa yang diperbuat Kang Min?” Kliwon menyelidik.
Seluruh peristiwa itu masih lekat di mata Pon. Pon tidak menangis. Ceritanya lancar sekali. Hari itu, suaminya sudah di rumah ketika Pon pulang untuk sholat dhuhur dari sawah. Duduk di kursi ruang tamu menungguinya pulang. Di meja ada bungkusan kain putih dan kendi. Pon ingin sekali menghambur memeluknya, tapi dia tak berani. Mata suaminya masih sama menatap nyalang dan menikam selama 5 tahun terakhir ini. Kang Minnya ingin sekali punya anak dari dulu.
#Bersambung...

Tidak ada komentar: