Sabtu, 05 Desember 2015

AWAL BERAKHIR



Bagaimana cara yang benar untuk mengawali sebuah cerita? Dia tak pernah tahu bagaimana caranya. Seperti dia tidak pernah tahu bagaimana mengawali sebuah cinta. Baginya tidak ada cerita bermula dari satu titik, karena semua titik itu bias. Semuanya adalah bagian dari titik lain. Titik yang hanya diketahui Tuhan, jika Tuhan itu ada. Dan dia mulai meragukan keberadaannya, karena semuanya sekarang hampa.
Bagaimana cinta? Perasaan itu, sebenarnya yang benar bagaimana? Sesuatu yang disebut cinta itu, dinamainya ganjil. Perasaan yang tak berketentuan, tak beralasan, tak bertujuan, dan tak berlogika. Begitulah dia selalu berpikir asal muasal cinta. Kedatangan yang tidak pernah diketahui muncul dan menyelinap dalam perasaan.
“Perasaan katanya letaknya di hati. Bukankah hati itu organ tubuh yang secara kasar dapat diartikan penyaring racun dalam tubuh itu sendiri. Bagaimana dia bisa dituduh sebagi yang paling bertanggungjawab atas semua itu?” Dia membalikkan badannya lagi. Tak hanya cetakan bulat dan basah di bantalnya. Sekarang bantal itu telah basah separuhnya. Berlembar-lembar tissu telah terpakai, mengoggok di sekitar tempat sampah ruangan di pojok kamar. Lemparan yang tidak tepat sasaran. Tapi, dia tidak bertenaga untuk membereskannya. Siapa sangka kekasihnya dulu pernah memberikan julukan panjang “Putri mungil keturunan manusia setengah dewa kebersihan pangkal dari segalanya”.
“Sekarang aku tak sebersih itu lagi. Aku tak tahu menamainya. Keruh sekali. Aku..., bagaimana...aku membersihkannya?” Lalu air matanya tumpah lagi, kali ini keluar bersama ingus yang langsung tertampung tissu yang tinggal beberapa lembar.
Malang. Sungguh malang nian. Kesedihan itu tak terperi. Yang membuatnya semakin pilu adalah ketakutannya. Dia tak tahu mengapa. Tapi Rio tiba-tiba menjadi sosok yang menakutkan. Seperti semua kesedihan karena dia, berawal darinya. Padahal dia tak tahu letak awal atau letak akhir. Bukannya hubungan itu juga belum berakhir dan tak pernah berawal.
Manis itu telah dirasa sejak semula, bukan sejak Rio mengatakan “Maukah kamu jadi pacarku?” Di puncak bromo pada liburan semester awal mereka. Entah sejak kapan bersama dengan Rio menjadi momen terindah. Dunia adalah keindahan.  Dunia diciptakan untuk keindahan yang membahagiakan. Memberi warna cerah dan semangat untuk hidup. Bromo, Bromo sangat indah. Tak ada yang tak mungkin, kala itu dia merasa dapat mencapai segalanya. Tapi bukankah sebelum kejadian itu dia juga bahagia? Dia pernah menghabiskan waktu bersama Rio di kawah Ijen, bermain seharian di Waterboom, nekat tiga hari liburan ke Bali naik motor, atau sekedar jalan-jalan di malam minggu menyaksikan sandiwara kehidupan.
Akh...betapa sekarang ini semua itu terasa amat menjengkelkannya. Semua kenangan sebelum kata cinta dikeluarkan telah menghabisi keberaniannya untuk mengingat ‘masa_jadian’  begitu orang menyebutnya. Dia tidak tahu bagaimana kesedihan bisa membuat dadanya begitu sesak. Megap-megap. Memeluk lutut sambil memegang dada. Rasanya ada yang terlepas di sana. Ada organ tubuhnya yang putus dan harus disambung, atau retak sehingga harus dilem. Dia merasa adegan itu lebih mirip orang yang sedang overdosis karena narkotika. Entahlah, entah kenapa pikirannya begitu rumit. Segalanya menjadi rancu di sana. Semuanya terlintas begitu saja. Tak bisa dikendalikan. Lalu mau apalagi? Mungkin dia menyerah. Tapi sekarang dia bangkit, bukan untuk mulai beranjak dari pilu melainkan berjalan sempoyongan ke arah almari persediaan. Mengambil satu roll tissu baru.
Sebelumnya dia tak percaya tingkah semacam ini bisa terjadi. Baginya itu terlalu khayal. Hanya imajinasi perfilman yang cari sensasi. Atau prosa yang cari perhatian pembaca. Cerita lebay. Cerita melankolis tingkat peri. Tapi sekarang dia tak menyangkalanya. Dia hanya ingin tahu letak awal, bagaimana itu sebuah awal. Seperti apa bentuk awal, karena dia harus menemukan akhir. Dia menginkan akhir. Jika memang awal dan akhir benar-benar ada.
Menurut kesepakatan masyarakat. Kalimat yang diucapkan Rio di depan kosku pada malam gerimis itu yang berbunyi  “Mungkin memang lebih baik kita putus. Kamu bisa cari cowo’ yang lebih baik dari aku. Kamu telah membuat aku menyadari bahwa Liana memang lebih baik dari kamu. Kamu membuatku tidak bisa menjauhinya lagi. Inikan yang kamu mau?”. Itu adalah akhir, akhir dari ‘masa­_jadian’. Tapi dia merasa itu bukan akhir. Ketika itu Rio mengatakan dengan mata lelah, wajahnya sayu. Dia yakin ada kegetiran di sana. Ada perasaan sakit yang tak bisa disembunyikan. Tapi mengapa dia memilih kalimat itu. Bukankah dia juga mengatakan masih mencintaiku? Berarti itu bukan akhir, tapi kenapa justru Liana teman sekelas Rio yang baru dikenal sebulan lalu? Lima tahun Rio mengenalnya dan itu belum cukup. Akh, kenapa dia harus kasihan pada Liana. Meminta Rio untuk tidak melukai perasaannya, padahal sekarang justru dia yang merasa terluka.
Kenyataannya itu bukanlah akhir, ya itu bukan sebuah akhir. Rio masih mengunjunginya, masih berkabar, masih menggunakan barang pemberiannya. Sama seperti dia yang masih memajang foto Rio di kamarnya dan di dompetnya. Lalu apakah itu sebuah akhir? Dia tak percaya itu akhir. Sebenarnya mungkin awal dan akhir tak pernah ada. Mungkin pula ada, tapi tak pernah berhasil diketahuinya. Perasaan cinta pasti menyusup perlahan dinamakannya suka, semakin dalam diubah sebutannya jadi sayang, dan ketika semakin dalam lagi dia menamainya cinta.
“Jadi cinta itu sangat indah bukan? Perasaan itu membuat kita seakan menjadi aktor utama dalam film Bollywood yang diiringi ratusan penari. Bunga-bunga bertaburan dari angkasa. Paving beton berubah jadi karpet merah kepresidenan. Jangan-jangan naik odong-odong serasa naik kereta kencana!” begitu Noona memetaforakan cinta saat sahabatnya jatuh cinta pada salah satu anggota kepolisian yang masih muda.
Tapi semua itu tetap tak menghibur. Dia merasa terlalu hampa. Dia takut. Dia kecewa. Dia menyesal telah mengenal iblis laknat. Jahannam. Jahannam. Fuck. Kampret. Tak tahu diri. Laki-laki buaya. Dia ingin mengkoyak tubuh Rio yang telah membuat perasaan seganjil demikian. Rio membuatnya yang tak pernah mudah percaya menjadi percaya sepenuhnya. Rio membuatnya yang tak pernah mau mendalami rasa menjadi berkorban sedemikian. Tapi begini balasannya. Gak punya moral. Cinta dan benci tipis bedanya. Sama-sama gak berawal dan tidak diketahui dimana akhirnya. Atau hanya dia saja yang tak mengetahuinya?
Bagaimana kemudian dia harus menghadapi ini? Sebenci-bencinya dengan Rio dia masih menyimpan perasaan yang sama. Masih menyanyanginya, masih ingin menyenangkannya. Dia dapat mengolok-olok Rio tapi tak dapat menolak perasaan rindunya yang membuat dia ingin selalu bertemu. Padahal bertemu pun merasa takut. Akh, seperti ini rasanya menhadapi mantan. Setiap pagi dia terbangun karena terkagetkan mimpinya. Mimpi yang setiap saat seolah-olah nyata. Membuat setiap kubik dalam dirinya terasa hampa. Karena setiap kubik darinya telah terisi oleh memori tentang Rio. Perjalanan itu entahlah sampai kapan berakhir. Ingin dia menyudahi sakit yang tak alang kepalang. Mimpi-mimpinya masih membentang. Keluarganya masih menunggu untuk dibahagiakan, atau setidaknya melihat dia sukses di masa depan. Jadi haruskah satu nama merusak semua yang telah dilaluinya dari balita?
Banyak orang berkata bahwa jika jodoh takkan kemana. Tapi yang dirasanya semua terlalu hampa. Benarkah waktu mampu merubah segalanya? Waktu mampu mengikis perasaan yang dalam itu kepada Rio? Dia terjebak dalam kerumitan pikirannnya sendiri. Tubuhnya kian kurus. Tapi memorinya mencoba mengingat-ingat berbagai peristiwa.
“Akh, Rio pun juga tambah kurus. Mungkinkah Rio juga merasakan hal yang sama. Lalu untuk apa sebenarnya perpisahan ini? Haruskah aku menjadi lebih berani seperti wanita-wanita perkasa untuk menyampaikan perasaanku? Memintanya kembali... Bodoh! Akh, ya... Itu hanya pikiran bodoh. Aku tak mungki melakukkannya. Bukan aku. Bukan sesuatu adiluhung yang diajarkan oleh keluargaku. Aku muak mungkin dengan perasaan ini. Tapi mungkin aku juga masih ingin menikmatinya. Akhhh, begitu rumitnya manusia. Begitu sempurnyanyakah Rio untukku?”
“Seandainya aku bisa menemukan akhir. Aku bisa membuka sebuah awal yang baru. Tapi bagaimana membuat akhir itu benar-benar ada. Aku tak benar-benar ingin berpisah dengan Rio. Kukaguminya. Mungkin sudah mulai mencintai kekurangnyya saat dia mulai bebicara keras. Saat dia mulai menunjukkan kelemahannya. Dan aku dengan perlahan menerimaku sebagai sesuatu yang tak sebanding. Manusia kerdil yang bodoh. Tak ada kecantikan, tak ada kepintaran, tak ada keindahan. “
Tapi tak bisa begitu. Masih beberapa purnama yang lalu Rio mengajaknya ke rumahnya. Memperkenalkannya dengan yang dia sebut mama. Wanita berumur sekitar 45 tahunan. Sedikit gemuk seperti kebanyakan ibu-ibu. Tanpa make up, rambutnya diurai namun tertahan oleh bandana hitam polos. Pipinya mulai menunjukkan kerutan dibagian bibir, namun masih putih bersih. Dia suka alisnya, tidak seperti dicukur namun rapi. Bibirnya juga melekuk indah tiap berbicara, juga tidak dipulas, tapi terlihat merah. Akh, yang seperti itu sudah cukup cantik baginya.
Yang membuat mama Rio semakin terlihat cantik di matanya karena mau menerimanya. Menyambutnya dengan senyum dan memuji. Seperti penyidik, wanita itu mulai menyakan segala sesuatu dalam kehidupannya, perihal pendidikan, keluarga, dan orang tua. Wanita itu  terus tersenyum, beberapa kali dia menyelibkan cerita kenakalan Rio setiap saat. Sejak kecil sampai saat ini. Semua cerita yang membuatnya semakin tersipu. Rio hanya menimpali “bukan aku” setiap saat itu dirasanya buruk, atau menepuk dada dengan senyum yang dipongah-pongahkan setiap mamanya memuji.
Namun suasana berubah, saat ayah Rio datang dengan keceriaan lalu menjadi diam dan berlalu begitu melihatnya. Tegang. Beku. Rio pun lagsung mengantarnya pulang. Itukah penyebabnya sebenarnya. Bukan gadis yang dicemburui yang membuat Rio memutuskan hubungan ini. Tapi ayah Rio  tak suka padanya. Bukankah ayah Rio belum mengenalnya? Kenapa tiba-tiba tak suka? Haruskah dia menanyakannya? Tapi tidak sopan, dia  bukan pacarnya lagi. Hanya temannya.
“Tapi sebenarnya hubungan ini belum berakhir bukan? Jadi tak apa aku menghubunginya dan menanyakan ini. Tapi aku takut Rio menjadi marah. Apa yang sebaiknya aku lakukakan Tuhan? Dunia-Mu yang luas kini menjadi penjara bagiku. Rio bukan untukku kah? Aku mau dia seperti dulu menemaniku setiap saat, memperhatikanku. Bukan begini, berhubungan dalam ketegangan. Melihatnya dengan yang lain tapi aku merasa dia masih sama saja. Masih milikku. Berilah akhir. Jangan-jangan sebenarnya kiamat juga bukan akhir. Berilah awal, beri akhir, jangan berbelit-belit. Jangan buat manusia-manusia membuat awal dan akhirnya sendiri-sendiri.”
“Cintaku harus jelas. Rio harus jelas. Aku butuh kejelasan. Aku ingin melanjutkan semua ini Tuhan. Apa aku marah pada-Mu? Oh, maafkan aku. Aku tak mungkin marah pada-Mu. Hanya beri kejelasan. Secarik coretan tak berguna dia antara buku misalnya, penggalan sebuah novel. Apapun yang dapat kujadikan petunjuk. Akh, apa aku sudah putus asa hanya karena cinta?”
Dia untuk ke sekian kali menyeka air matanya. Sebelumnya dia tak pernah secengeng ini. Kegilaannya mulai membuat dia mengobrak-abrik barang-barang yang mungkin memberi petunjuk. Berharap mendapat itu kiriman Tuhan. Buku harian dibacanya, setiap catatan diamati, foto-foto diperhatikan seksama. Fb yang mencurigakan dia periksa. Namun hasilnya nihil. Tersadar tindakan bodoh dan labil yang mengharap hidup adalah lukisan tenleeet-rumit tapi pasti, membuatnya sampai pada kedamaian diri.
“Hubungan itu sudah berakhir. Rio tak menginginkanku karena aku hidup jauh dalam khayalan yang kuanggap nyata. Aku tak dapat membedakan fantasi dan kenyataan. Sedang Liana...dia sangat realistis. Hidup dalam fantasi memang indah dengan sendirinya, namun bisa membuat perasaan sangat jengah.” Dia sadar dunia itu hanya miliknya. Dunia yang sangat luas yang tidak dapat digapai dengan kesadaran. Hanya alam bawah sadar yang dapat menunjukkan letaknya. Tak semua manusia dapat memasukinya dan ketika kamu asik di dalamnya sulit bagimu untuk keluar. Sebab di dalam sana adalah tempat seluruh jawaban anak-anak yang sudah mulai kaulupakan ketika beranjak dewasa. Di tempat itu filosofi dilahirkan. Di tempat itu bila tak mampu menggapai alam tiga dimensimu maka kamu akan terkurung dalam dimensi keempat di ruang dimensi ketiga. Di situlah awal dan akhir terselib, hanya belum mampu ditemukan. Jalanan adalah jalanan di setiap partikel yang ada di dunia ini.
SELESAI

Tidak ada komentar: