Bagaimana cara yang benar untuk mengawali sebuah cerita?
Dia tak pernah tahu bagaimana caranya. Seperti dia tidak pernah tahu bagaimana
mengawali sebuah cinta. Baginya tidak ada cerita bermula dari satu titik,
karena semua titik itu bias. Semuanya adalah bagian dari titik lain. Titik yang
hanya diketahui Tuhan, jika Tuhan itu ada. Dan dia mulai meragukan
keberadaannya, karena semuanya sekarang hampa.
Bagaimana cinta? Perasaan itu, sebenarnya yang benar
bagaimana? Sesuatu yang disebut cinta itu, dinamainya ganjil. Perasaan yang tak
berketentuan, tak beralasan, tak bertujuan, dan tak berlogika. Begitulah dia
selalu berpikir asal muasal cinta. Kedatangan yang tidak pernah diketahui
muncul dan menyelinap dalam perasaan.
“Perasaan katanya letaknya di hati. Bukankah hati itu
organ tubuh yang secara kasar dapat diartikan penyaring racun dalam tubuh itu
sendiri. Bagaimana dia bisa dituduh sebagi yang paling bertanggungjawab atas
semua itu?” Dia membalikkan badannya lagi. Tak hanya cetakan bulat dan basah di
bantalnya. Sekarang bantal itu telah basah separuhnya. Berlembar-lembar tissu
telah terpakai, mengoggok di sekitar tempat sampah ruangan di pojok kamar.
Lemparan yang tidak tepat sasaran. Tapi, dia tidak bertenaga untuk membereskannya.
Siapa sangka kekasihnya dulu pernah memberikan julukan panjang “Putri mungil
keturunan manusia setengah dewa kebersihan pangkal dari segalanya”.
“Sekarang aku tak sebersih itu lagi. Aku tak tahu
menamainya. Keruh sekali. Aku..., bagaimana...aku membersihkannya?” Lalu air
matanya tumpah lagi, kali ini keluar bersama ingus yang langsung tertampung
tissu yang tinggal beberapa lembar.
Malang. Sungguh malang nian. Kesedihan itu tak terperi.
Yang membuatnya semakin pilu adalah ketakutannya. Dia tak tahu mengapa. Tapi
Rio tiba-tiba menjadi sosok yang menakutkan. Seperti semua kesedihan karena
dia, berawal darinya. Padahal dia tak tahu letak awal atau letak akhir.
Bukannya hubungan itu juga belum berakhir dan tak pernah berawal.
Manis itu telah dirasa sejak semula, bukan sejak Rio
mengatakan “Maukah kamu jadi pacarku?” Di puncak bromo pada liburan semester
awal mereka. Entah sejak kapan bersama dengan Rio menjadi momen terindah. Dunia
adalah keindahan. Dunia diciptakan untuk
keindahan yang membahagiakan. Memberi warna cerah dan semangat untuk hidup.
Bromo, Bromo sangat indah. Tak ada yang tak mungkin, kala itu dia merasa dapat
mencapai segalanya. Tapi bukankah sebelum kejadian itu dia juga bahagia? Dia
pernah menghabiskan waktu bersama Rio di kawah Ijen, bermain seharian di
Waterboom, nekat tiga hari liburan ke Bali naik motor, atau sekedar jalan-jalan
di malam minggu menyaksikan sandiwara kehidupan.
Akh...betapa sekarang ini semua itu terasa amat
menjengkelkannya. Semua kenangan sebelum kata cinta dikeluarkan telah
menghabisi keberaniannya untuk mengingat ‘masa_jadian’ begitu orang menyebutnya. Dia tidak tahu
bagaimana kesedihan bisa membuat dadanya begitu sesak. Megap-megap. Memeluk
lutut sambil memegang dada. Rasanya ada yang terlepas di sana. Ada organ
tubuhnya yang putus dan harus disambung, atau retak sehingga harus dilem. Dia
merasa adegan itu lebih mirip orang yang sedang overdosis karena narkotika.
Entahlah, entah kenapa pikirannya begitu rumit. Segalanya menjadi rancu di
sana. Semuanya terlintas begitu saja. Tak bisa dikendalikan. Lalu mau apalagi?
Mungkin dia menyerah. Tapi sekarang dia bangkit, bukan untuk mulai beranjak
dari pilu melainkan berjalan sempoyongan ke arah almari persediaan. Mengambil
satu roll tissu baru.
Sebelumnya dia tak percaya tingkah semacam ini bisa
terjadi. Baginya itu terlalu khayal. Hanya imajinasi perfilman yang cari
sensasi. Atau prosa yang cari perhatian pembaca. Cerita lebay. Cerita
melankolis tingkat peri. Tapi sekarang dia tak menyangkalanya. Dia hanya ingin
tahu letak awal, bagaimana itu sebuah awal. Seperti apa bentuk awal, karena dia
harus menemukan akhir. Dia menginkan akhir. Jika memang awal dan akhir
benar-benar ada.
Menurut kesepakatan masyarakat. Kalimat yang diucapkan
Rio di depan kosku pada malam gerimis itu yang berbunyi “Mungkin memang lebih baik kita putus. Kamu
bisa cari cowo’ yang lebih baik dari aku. Kamu telah membuat aku menyadari
bahwa Liana memang lebih baik dari kamu. Kamu membuatku tidak bisa menjauhinya
lagi. Inikan yang kamu mau?”. Itu adalah akhir, akhir dari ‘masa_jadian’. Tapi
dia merasa itu bukan akhir. Ketika itu Rio mengatakan dengan mata lelah,
wajahnya sayu. Dia yakin ada kegetiran di sana. Ada perasaan sakit yang tak bisa
disembunyikan. Tapi mengapa dia memilih kalimat itu. Bukankah dia juga
mengatakan masih mencintaiku? Berarti itu bukan akhir, tapi kenapa justru Liana
teman sekelas Rio yang baru dikenal sebulan lalu? Lima tahun Rio mengenalnya
dan itu belum cukup. Akh, kenapa dia harus kasihan pada Liana. Meminta Rio
untuk tidak melukai perasaannya, padahal sekarang justru dia yang merasa
terluka.
Kenyataannya itu bukanlah akhir, ya itu bukan sebuah
akhir. Rio masih mengunjunginya, masih berkabar, masih menggunakan barang
pemberiannya. Sama seperti dia yang masih memajang foto Rio di kamarnya dan di
dompetnya. Lalu apakah itu sebuah akhir? Dia tak percaya itu akhir. Sebenarnya
mungkin awal dan akhir tak pernah ada. Mungkin pula ada, tapi tak pernah
berhasil diketahuinya. Perasaan cinta pasti menyusup perlahan dinamakannya
suka, semakin dalam diubah sebutannya jadi sayang, dan ketika semakin dalam
lagi dia menamainya cinta.
“Jadi cinta itu sangat indah bukan? Perasaan itu membuat
kita seakan menjadi aktor utama dalam film Bollywood yang diiringi ratusan
penari. Bunga-bunga bertaburan dari angkasa. Paving beton berubah jadi karpet
merah kepresidenan. Jangan-jangan naik odong-odong serasa naik kereta kencana!”
begitu Noona memetaforakan cinta saat sahabatnya jatuh cinta pada salah satu
anggota kepolisian yang masih muda.
Tapi semua itu tetap tak menghibur. Dia merasa terlalu
hampa. Dia takut. Dia kecewa. Dia menyesal telah mengenal iblis laknat.
Jahannam. Jahannam. Fuck. Kampret. Tak tahu diri. Laki-laki buaya. Dia ingin mengkoyak
tubuh Rio yang telah membuat perasaan seganjil demikian. Rio membuatnya yang
tak pernah mudah percaya menjadi percaya sepenuhnya. Rio membuatnya yang tak
pernah mau mendalami rasa menjadi berkorban sedemikian. Tapi begini balasannya.
Gak punya moral. Cinta dan benci tipis bedanya. Sama-sama gak berawal dan tidak
diketahui dimana akhirnya. Atau hanya dia saja yang tak mengetahuinya?
Bagaimana kemudian dia harus menghadapi ini?
Sebenci-bencinya dengan Rio dia masih menyimpan perasaan yang sama. Masih
menyanyanginya, masih ingin menyenangkannya. Dia dapat mengolok-olok Rio tapi
tak dapat menolak perasaan rindunya yang membuat dia ingin selalu bertemu.
Padahal bertemu pun merasa takut. Akh, seperti ini rasanya menhadapi mantan. Setiap
pagi dia terbangun karena terkagetkan mimpinya. Mimpi yang setiap saat
seolah-olah nyata. Membuat setiap kubik dalam dirinya terasa hampa. Karena
setiap kubik darinya telah terisi oleh memori tentang Rio. Perjalanan itu
entahlah sampai kapan berakhir. Ingin dia menyudahi sakit yang tak alang
kepalang. Mimpi-mimpinya masih membentang. Keluarganya masih menunggu untuk
dibahagiakan, atau setidaknya melihat dia sukses di masa depan. Jadi haruskah
satu nama merusak semua yang telah dilaluinya dari balita?
Banyak orang berkata bahwa jika jodoh takkan kemana. Tapi
yang dirasanya semua terlalu hampa. Benarkah waktu mampu merubah segalanya?
Waktu mampu mengikis perasaan yang dalam itu kepada Rio? Dia terjebak dalam
kerumitan pikirannnya sendiri. Tubuhnya kian kurus. Tapi memorinya mencoba
mengingat-ingat berbagai peristiwa.
“Akh, Rio pun juga tambah kurus. Mungkinkah Rio juga
merasakan hal yang sama. Lalu untuk apa sebenarnya perpisahan ini? Haruskah aku
menjadi lebih berani seperti wanita-wanita perkasa untuk menyampaikan
perasaanku? Memintanya kembali... Bodoh! Akh, ya... Itu hanya pikiran bodoh.
Aku tak mungki melakukkannya. Bukan aku. Bukan sesuatu adiluhung yang diajarkan
oleh keluargaku. Aku muak mungkin dengan perasaan ini. Tapi mungkin aku juga
masih ingin menikmatinya. Akhhh, begitu rumitnya manusia. Begitu
sempurnyanyakah Rio untukku?”
“Seandainya aku bisa menemukan akhir. Aku bisa membuka
sebuah awal yang baru. Tapi bagaimana membuat akhir itu benar-benar ada. Aku
tak benar-benar ingin berpisah dengan Rio. Kukaguminya. Mungkin sudah mulai
mencintai kekurangnyya saat dia mulai bebicara keras. Saat dia mulai
menunjukkan kelemahannya. Dan aku dengan perlahan menerimaku sebagai sesuatu
yang tak sebanding. Manusia kerdil yang bodoh. Tak ada kecantikan, tak ada
kepintaran, tak ada keindahan. “
Tapi tak bisa begitu. Masih beberapa purnama yang lalu
Rio mengajaknya ke rumahnya. Memperkenalkannya dengan yang dia sebut mama. Wanita
berumur sekitar 45 tahunan. Sedikit gemuk seperti kebanyakan ibu-ibu. Tanpa
make up, rambutnya diurai namun tertahan oleh bandana hitam polos. Pipinya
mulai menunjukkan kerutan dibagian bibir, namun masih putih bersih. Dia suka
alisnya, tidak seperti dicukur namun rapi. Bibirnya juga melekuk indah tiap
berbicara, juga tidak dipulas, tapi terlihat merah. Akh, yang seperti itu sudah
cukup cantik baginya.
Yang membuat mama Rio semakin terlihat cantik di matanya karena
mau menerimanya. Menyambutnya dengan senyum dan memuji. Seperti penyidik,
wanita itu mulai menyakan segala sesuatu dalam kehidupannya, perihal
pendidikan, keluarga, dan orang tua. Wanita itu terus tersenyum, beberapa kali dia menyelibkan
cerita kenakalan Rio setiap saat. Sejak kecil sampai saat ini. Semua cerita
yang membuatnya semakin tersipu. Rio hanya menimpali “bukan aku” setiap saat
itu dirasanya buruk, atau menepuk dada dengan senyum yang dipongah-pongahkan
setiap mamanya memuji.
Namun suasana berubah, saat ayah Rio datang dengan
keceriaan lalu menjadi diam dan berlalu begitu melihatnya. Tegang. Beku. Rio pun
lagsung mengantarnya pulang. Itukah penyebabnya sebenarnya. Bukan gadis yang dicemburui
yang membuat Rio memutuskan hubungan ini. Tapi ayah Rio tak suka padanya. Bukankah ayah Rio belum
mengenalnya? Kenapa tiba-tiba tak suka? Haruskah dia menanyakannya? Tapi tidak
sopan, dia bukan pacarnya lagi. Hanya temannya.
“Tapi sebenarnya hubungan ini belum berakhir bukan? Jadi tak
apa aku menghubunginya dan menanyakan ini. Tapi aku takut Rio menjadi marah.
Apa yang sebaiknya aku lakukakan Tuhan? Dunia-Mu yang luas kini menjadi penjara
bagiku. Rio bukan untukku kah? Aku mau dia seperti dulu menemaniku setiap saat,
memperhatikanku. Bukan begini, berhubungan dalam ketegangan. Melihatnya dengan
yang lain tapi aku merasa dia masih sama saja. Masih milikku. Berilah akhir.
Jangan-jangan sebenarnya kiamat juga bukan akhir. Berilah awal, beri akhir,
jangan berbelit-belit. Jangan buat manusia-manusia membuat awal dan akhirnya
sendiri-sendiri.”
“Cintaku harus jelas. Rio harus jelas. Aku butuh
kejelasan. Aku ingin melanjutkan semua ini Tuhan. Apa aku marah pada-Mu? Oh,
maafkan aku. Aku tak mungkin marah pada-Mu. Hanya beri kejelasan. Secarik
coretan tak berguna dia antara buku misalnya, penggalan sebuah novel. Apapun yang
dapat kujadikan petunjuk. Akh, apa aku sudah putus asa hanya karena cinta?”
Dia untuk ke sekian kali menyeka air matanya. Sebelumnya
dia tak pernah secengeng ini. Kegilaannya mulai membuat dia mengobrak-abrik
barang-barang yang mungkin memberi petunjuk. Berharap mendapat itu kiriman
Tuhan. Buku harian dibacanya, setiap catatan diamati, foto-foto diperhatikan
seksama. Fb yang mencurigakan dia periksa. Namun hasilnya nihil. Tersadar tindakan
bodoh dan labil yang mengharap hidup adalah lukisan tenleeet-rumit tapi pasti,
membuatnya sampai pada kedamaian diri.
“Hubungan itu sudah berakhir. Rio tak menginginkanku
karena aku hidup jauh dalam khayalan yang kuanggap nyata. Aku tak dapat
membedakan fantasi dan kenyataan. Sedang Liana...dia sangat realistis. Hidup
dalam fantasi memang indah dengan sendirinya, namun bisa membuat perasaan
sangat jengah.” Dia sadar dunia itu hanya miliknya. Dunia yang sangat luas yang
tidak dapat digapai dengan kesadaran. Hanya alam bawah sadar yang dapat
menunjukkan letaknya. Tak semua manusia dapat memasukinya dan ketika kamu asik
di dalamnya sulit bagimu untuk keluar. Sebab di dalam sana adalah tempat
seluruh jawaban anak-anak yang sudah mulai kaulupakan ketika beranjak dewasa.
Di tempat itu filosofi dilahirkan. Di tempat itu bila tak mampu menggapai alam
tiga dimensimu maka kamu akan terkurung dalam dimensi keempat di ruang dimensi
ketiga. Di situlah awal dan akhir terselib, hanya belum mampu ditemukan.
Jalanan adalah jalanan di setiap partikel yang ada di dunia ini.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar