Ini cerita yang kutulis dalam rangka mengikuti tugas menulis di sebuah group facebook milik penerbitan indie. Owner sekaligus adminnya masih muda banget, tapi keren udah bisa bikin usaha macam begini. Setiap hari selasa diadakan kelas menulis cerita dan hari rabunya kelas menulis puisi. Nah, tulisanku ini dibikin setelah mengikuti materi di kelas menulis cerita. Kalau penasaran langsung aja cek di
www.nauvabook.com.
INDAHNYA
NEGERIKU
Setiap kali duduk bersandar pada pohon. Memandang lautan padi yang
menghijau dari atas bukit ini. Rasanya jiwaku sedang beranak. Alam begitu
besar. Begitu berkuasa. Manusia kerdil seketika. Sejauh mata memandang hanya
sawah yang terhampar. Manusia hanyalah noda. Jauh di ujung-ujung pandang, pohon
berbaris. Kokoh menjadi pagar-pagar lereng perbukitan yang kian meninggi.
Menopang gunung. Mencengkeram batu-batu besar yang dikandungnya.
Dari sini, jika kau mau tengadah sedikit saja. Awan-awan seputih kapas
berterbangan ringan. Membentuk mimpi-mimpinya bersama langit. Berdialog tentang
cuaca bersama warna, kecepatan angin, dan massanya sendiri. Burung menggagahi
angin. Mengejar langit yang tak pernah lelah di ketiggian. Bersuka mengirim
pesan cuaca. Atau sekedar berpesta manakala fajar berkelana dan senja
menampakkan wajahnya.
Setiap kali aku duduk di sini, aku tak lagi merasa perlu mengangkuhi Semeru.
Berdiri di atas awan setelah mempersembahkan nyawa pada maut. Pulang
meninggalkan bungkus-bungkus mie instan yang beralih tugas membungkus lereng Semeru.
Atau memercik api sebab perapian tak benar-benar padam.
Jika ingin berdiri di atas awan kemarilah. Datang ke bukit ini setelah
subuh saat kabut jatuh mencium bumi. Berdirilah di sini, tatap ke timur.
Matahari hanya seperti lampu neon di kejauhan. Matamu tak akan sakit
melihatnya. Diamlah di sini, tunggu matahari merangkak sedikit lagi. Ketika
matahari mulai merona malu pada angkasa. Kau akan melihat lautan awan menutup
padi yang baru tumbuh. Kabut menggeliat malas di kakimu. Perlahan, dia akan
terbang seiring matahari yang semakin berani. Dingin yang sedari subuh tadi kau
rasakan berganti rasa hangat. Bahkan hangatnya bisa kau seduh jadi
penyemangatmu hari ini.
Di sini, jiwaku serasa terlahir lagi, lagi, dan lagi. Maka, kemarilah jika
kau pun ingin jiwa-jiwa baru yang segar. Jiwa-jiwa penuh syukur yang memuji
keindahan semesta. Jiwa-jiwa yang mengerti betapa kecilnya manusia. Betapa tak
sebandingnya keinginan manusia dan perjalanan sang alam. Di sinilah tempatnya.
Di atas bukit kecil yang ditumbuhi belukar dan pohon-pohon tua. Dikelilingi
hamparan sawah yang dihuni padi, kala musim hujan begini. Dipagari pohon-pohon
yang barangkali hutan, barangkali kebun liar, di kejauhan sana. Di seberang
sawah, rumah-rumah begitu pipih tergenjet hijau yang menganga. Ditangkup
barisan bukit yang kian tinggi membentuk gugusan pegunungan membiru saking
jauhnya.
Tak perlu menyiapkan bekal sepenuh carrier
sekian liter lengkap dengan matras, jaket, dan sepatu yang tidak murah-sebab
bagus kualitasnya. Tak perlu mengusung tenda dalam mobil off road dan persedian bahan bakar minyak-sebab takut kehabisan di
tengah hutan. Tak perlu pula bayar-di sini bahkan tak ada kawanan amarillis
yang bisa diinjak-injak. Tak perlu membawa bekal. Jika lapar petik saja
mangganya, itu pun kalau berbuah. Jika haus, di dekat sini ada sumber air.
Atau, bisa minum di sumur-sumur sawah. Tidak kira mati, sebab airnya tak
beracun. Petani-petani di sini sudah membuktikannya. Jadi, jangan banyak
tingkah dengan mengatakan air ini tidak higienis. Toh, mie instan yang kau
bawa-bawa manakala naik gunung lebih beresiko untuk kesehatanmu.
Disinilah tempatnya, sayang. Tempat yang enggan didekati orang manakala
malam merentangkan selendangnya. Sebab jangkrik akan bernyanyi bersama
belalang, katak, desau angin, dan patah-patah ranting. Saat seperti itu,
bintang bersorak senang. Cahayanya yang butuh ribuan tahun cahaya untuk sampai akhirnya
tiba di bumi. Rembulan tak selalu bundar. Bayang-bayang bumi selalu ingin
menang. Wajahnya bahkan masih pula dilukai awan yang tak mau menyibak.
Terkadang sekelebat bayangan putih atau pijar bola api lewat. Terkadang ada
pula suara cekikikan di atas dahan atau tangis tertahan di antara semak.
Jadi, bukankah di sinilah tempat yang paling tepat untukmu berpetualang? Tadabbur? Ngetrip? Adu nyali? Apapun kau menamainya. Mengapa kau harus berjalan
kaki ribuan meter menanjak? Padahal, di tengah kota kau tak tahan tanpa berkendara
meski itu hanya sepelemparan bola. Mengapa kau mati-matian mengganjal perut
dengan mie instan? Padahal, di tengah kota kau coba semua makanan. Mengapa kau
harus sisakan banyak waktu demi sekelumit kebanggaan? Di rumah ayah-ibumu resah
menunggu anaknya pulang.
Kau berkali-kali tersenyum manakala aku mencecarmu dengan pertanyaan dan pernyataan.
Senyum yang lebih manis daripada senyum hasil jepretan DSLR yang terpajang di
instagrammu. Katamu, baru kini kau tahu aku begitu anti ngetrip dan lucunya kau malah suka. Dua tahun kita berteman,
bersayang-sayang, begitu aneh kau baru merasakan. Jadi, selama ini sindiranku
terlalu halus hingga kau sangka pujiankah? Katamu, amarahku baru nampak setelah
tiga kucing hutan itu tanpa dosa disantap seorang gadis yang juga berstatus
mahasiswa. Lebih nampak lagi ketika kebun bunga amarillis yang ingin kukunjungi
esoknya telah ludes diinjak-injak manusia otak dangkal.
Jadi, ketika setahun lalu kutandaskan mengundangmu untuk berkunjung ke
bukit ini seorang diri. Kuingatkan pula agar kau tidak lupa membawa tasbih dan
sajadah. Malah kau mengira aku mengadu
nyalimu dengan lelembut? Kau termasuk manusia otak dangkal itu atau aku yang
memang tak pandai mengungkap rasa? Baiklah, sekali lagi akan kuceritakan padamu.
Sekarang. Sebab sudah kubilang hanya di sini jiwaku beranak. Di sini aku dapat
mencumbui semua emosi. Semoga kali ini kau bisa mengenalku dengan benar.
Waktu itu aku mengundangmu, sebab kau bilang akan bolos kuliah 3 hari demi
naik gunung merapi yang angker itu. Kau ingin menahlukan sombongnya merapi yang
bergoyang-goyang menakuti semua orang. Juga sifatnya yang sok misterius hingga
melahirkan dongeng mak lampir yang tak berkesudahan. Dari pada kau ke sana
mempersembahkan nyawa yang hanya dibayar banggamu sendiri tanpa memikirkan
perasaan orangtuamu, lebih baik kau datang ke bukit ini. Bukit ini tak kalah
angker dengan merapi, makanya tak ada yang berani mengeruknya. Kata
orang-orang, hanya hati yang tak mengharap apa-apa yang akan selamat. Sudah
banyak cerita orang tersesat di bukit kecil ini karena menyimpan niat jahat.
Satu, dua bahkan mati tanpa sebab. Untuk itu aku berbangga diri, sebab ratusan
kali melamun di sini tak pernah kesurupan apalagi sampai tersesat. Apa sekarang
kau sudah mulai merinding?
Di dekat bukit ini, ada sumur tua yang kering. Entah dongeng entah nyata,
sumur itu katanya sarang ular-ular sawah. Kala malam, ular-ular sebesar lengan
keluar dari sana. Jumlahnya puluhan. Bukit ini jadi salah satu tujuannya mencari
santap malam. Belum lagi nyamuk-nyamuk subur seperti yang saat ini mengelilingi
kita-untung pakai lotion anti nyamuk. Lalu orang-orang berhati jahat yang
kuceritakan barusan. Jika dia tersesat di sini, dia panik, mungkin saja tak
segan mengancam dan membunuh lawannya. Mungkin kau akan jadi daftar mayat
mengenaskan berikutnya yang ditemukan di sini. Kisah yang seperti ini sudah
pernah terjadi. Semua itu adalah unsur horor yang ingin kau cari, bukan?
Jika yang kau cari keindahan alam, maka itu sudah terpampang jelas di depan
mata kita sekarang. Tak usah kau sangkal lagi. Sudah kuceritakan di awal. Sudah
kau saksikan sedari tadi. Tadi, sewaktu baru datang aku sempat melihat mulutmu
menganga. Itulah sebabnya aku ingin kau datang membawa sajadah dan tasbih. Di
tempat indah, horor, sekaligus misterius ini aku ingin kau berdzikir. Berserah
pada Tuhan atas segala kemungkinan. Bersyukur pada Tuhan atas segala keindahan.
Hanya terkagum pada Tuhan yang dapat menciptakan semua hal bersamaan. Kita yang
selalu merasa berkuasa atas alam, ternyata hanyalah manusia lemah yang misa di shut down Tuhan kapan saja.
Berhubung kita masih akan lama duduk di sini kuceritakan satu kisah menarik
lagi. Mungkin kau akan menganga lagi atau malah mengira aku mengarang. Jika pun
ini karangan, sumpah bukan aku yang mengarang. Ceritaku kali ini tentang budaya
masyarakat yang bertahan hingga kini. Hal ini juga menjadi alasanmu memutari
negri ini, bukan?
Lihatlah gunung membiru di kejauhan sana. Gunung yang tadi kubilang
menangkup wilayah ini. Amatilah gunung itu, mumpung cuaca hari ini terang
seperti ini. Nanti, kau akan temui bentuk seperti seorang perempuan tidur
telentang. Kepalanya di selatan, kakinya di utara. Puncak-puncak gunungnya
seperti diukir membentuk siluet dahi, hidung yang amat mancung, dan dagu lancip
mempesona. Rambutnya seolah diurai. Semuanya terlihat begitu detail. Bahkan,
payudaranya berjajar sama besar. Tapi, percayalah siluet itu tidak diukir
dengan peralatan pak tukang yang membangun rumah kita. Bukan para seniman pahat
dari Bali. Bukan pula pengukir wajah presiden di gunung Rushmore, Amerika
Serikat.
Siluet itu diukir oleh sebuah dongeng yang diawali kata “Pada zaman dahulu
kala,”. Tak pernah ada yang tahu kapan dahulu kala yang dimaksudkan. Sejauh ini
tak ada sejarahwan yang mengklaim kisah ini tertulis di sebuah lontar tua atau
prasasti yang terpendam ribuan tahun lamanya.
Beginilah kelanjutan kisah yang bermula “Pada zaman dahulu kala,” itu.
Seorang gadis desa tumbuh semakin cantik. Cantik yang begitu asri sebab, kala
itu tentu belum ada kosmetik Cina, apalagi operasi plastik Korea. Gadis desa
yang begitu murni sebab belum mengenal cinta. Kala itu belum ada sinetron dari
TV yang bisa ditiru anak-anak belum nalar. Gadis desa yang begitu lugu, sebab
kala itu belum ada yang mengajarinya gerakan feminisme. Gadis desa yang
barangkali hanya dapat mengerti, kelak jika umurnya sudah empat belas tahun
harus menikah. Tanpa tahu menikah itu untuk apa.
Bunga yang mekar selalu menarik perhatian, begitu pun gadis ini. Cerita
klise pun terulang. Para jejaka datang berebut. Di antaranya adalah
jejaka-jejaka otak dangkal. Mereka tak mau kalah antrian. Mereka hanya mau tahu
harumnya bunga yang sedang mekar. Menghirup dalam-dalam aromanya meski harus
mencabut dari tangkai. Layu dan mati setelahnya bukanlah sebuah urusan besar. Baginya
yang terpenting hasratnya telah tercapai. Aroma bunga akan dikenangnya sebagai
hasil petualangan yang membanggakan. Gadis itu benar-benar layu. Harapan
hidupnya kandas. Dia berlari ke puncak gunung. Menangis hingga ajal menjemput.
Semesta ingin mengenangnya. Perlahan-lahan bukit itu terbentuk sedemikian rupa.
Gadis malang itu diingat dalam dongeng. Andai saja para petualang mengerti yang
dimaksudkannya.
Kau tersenyum getir. Katamu “Jadi kau tak suka, ketika aku turun dari
Merapi membawa anggrek hidup untukmu?”
“Ya.”
“Lalu, kenapa kau terima?”
“Kasihan jika anggrek itu mati. Setelah anggrek itu tumbuh subur sekali,
akan kutanam di sini.”
“Bukannya sudah beranak?”
“Memang. Tapi, terlalu kecil dan badannya belum gemuk.”
“Jadi, jika kamu begiu mencintai bukit ini, negri ini, kenapa kamu begitu
ingin ke Inggris?”
Aku tersenyum puas. Kau menanyakan pertanyaan yang kutunggu-tunggu. Coba,
seberangilah mataku. Mengapa aku begitu ingin ke sana? Tak bisakah kau tebak?
Inggris negri yang begitu wibawa di mataku. Gedung-gedungnya menjulang
dibangun dengan tembok tebal nan kokoh. Negara yang begitu lama bertahan dalam
kuasa. Namun, masih menyimpan arti bertatakrama. Bahasanya digunakan di seluruh
dunia. Pendidikannya diantri jutaan calon pelajar. Masa telah berganti, namun
negri ini bertahan dipimpin oleh raja dan ratunya. Banyak tempat wisata yang
menghijau. Sejuk dipandang mata. Banyak museum, semua sejarah dan legenda
disimpan di sana.
Di sana aku ingin menguji cinta. Aku percaya negriku adalah hal terindah
yang kupunya. Negri terkaya. Bahkan, tanpa bekerja pun aku bisa makan. Tinggal
kusiram tanaman-tanaman setiap hari. Kupelihara ternak. Lalu tanaman dan ternak
kuberi makan silang. Aku tak perlu melihat pemimpin yang mulai goyah karena
ujian harta. Aku hanya perlu melihat para petaninya, nelayannya, budayawannya,
dan orang-orang yang masih percaya negri ini bisa dibanggakan serta tetap
sekaya dahulu. Lalu, cinta ini akan membuatku yang ada di sana merindu bumiku,
bukitku. Aku pun akan menggumamkan lagu puji-pujian untuk negriku, biarlah
mereka tak mengerti mengapa aku masih cinta negri penuh drama ini. Air mataku
akan meleleh dan aku tak kuasa menahan pulang, biarlah mereka mengira aku bodoh
mau kembali ke negri yang serba sulit ini. Keindahan negri lain tak mampu
membendung cinta pada negriku sendiri. Aku percaya, di sinilah rumahku. Maka,
ketika rindu tak mampu kutampung. Aku segera pulang, sebab tak akan tahan
berenang dalam tanya, “Masihka bukitku kokoh berdiri?”
Lihatlah! Di kejauhan sana bukit itu tinggal separuh, yang separuh sudah
diangkut truk untuk sekedar dijadikan tanah urug. Beberapa sudah lenyap menjadi
sawah. Ketika tidak cukup, mereka mulai merangkak ke lereng gunung. Merobohkan
pohonnya. Mengeruk bukitnya. Menggulingkan batunya. Mereka melakukannya sambil
berkata “Demi masa depan yang lebih baik, pembangunan akan terus dilakukan.”
Kau sekali lagi tertawa getir. Aku tahu, di hatimu, kau menilai negeri ini
sudah sangat miris keadaannya. Oleh sebab itu, kau mendaki ke sana- ke mari
mencari kebenaran. Mencari Tuhan. Mencari keindahan yang tersisa dari negeri
ini untuk kau cintai. Tapi, terkadang kau lupa. Kau terlalu narsis dan hanya
ingin memuaskan ego sendiri. Bersama teman-teman sekelompokmu sebenarnya. Kau
bawa-bawa bendera. Kau kibarkan di setiap puncaknya. Kau bawa sajadah kau sujud
di setiap tempatnya. Padahal negeri ini hanya ingin kau menjadi generasi yang
benar. Tentu negeri ini tak hendak menjadikan orang yang hanya dapat keluyuran
tapi tak pintar untuk dijadikan pemimpinnya. Padahal Tuhan tak minta kau sujud
di sana. Tuhan ingin kau sujud di rumah-Nya. Berbuat baik sebanyak-banyaknya.
Bukan mendekatkan diri pada bahaya.
Aku tahu, bahkan aku tak lebih baik darimu. Hanya, aku ingin sekali saja
menumpahkan caraku mencintai. Aku hanya ingin kau menemaniku mencintai negeri
ini dengan sederhana. Lalu kita berdua akan menyanyikan lagunya Gombloh dari
bukit sekencang-kencangnya:
“Lestari alamku, lestari desaku
Di mana Tuhanku menitipkan aku
Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa”
Jember, 05 Desember 2015
Dari kamar suara jangkrik bersahutan dengan
sholawat dan deru motor yang sesekali lewat.