Rabu, 16 Desember 2015

PUISI "DUSTA PUTIH"

DUSTA PUTIH

Aku masih menungguimu di sudut-sudut rindu
Manakala dusta kau seduh bersama kepura-puraan
Masih berhambur surat-surat cinta
Tak pernah dikirim merpati-merpati

Di belantara lain
Kuseduhkan malam tergelap
Selalu kalah dengan pandang rembulan

Terkulailah aku di sini
Memeluk duniamu yang memberati jagatku
Merayu hujan menjemput pelangi
Minum segelas dusta tentang ketakdatanganmu

Dan kau tersenyum menang manakala pelukmu menderaikan air mataku

Selasa, 15 Desember 2015

PUISI UNTUK DOLLY



#kickjose1 adalah tagar penanda untuk mengikuti extreme writing yang diselenggarakan oleh Nauvabook.com. 
Acaranya digelar di group facebook. Admin yang bertanggungjawab dalam acara ini adalah Josh ID (nama akun FB). Extreme writing pertama ini memberikan waktu 3 hari pada member untuk membuat tulisan sesuai tema yang diminta admin. Kebetulan kemarin yang disarankan mengambil cerita Advenso Dollyres Chavit dan Helenina Mustika. Saya memilih menuliskan Advenso Dollyres Chavit alias Dolly dalam bentuk puisi. 

::BUKAN MARIA::
~IKRA~

Dia telah sampai di ujung tubir kehidupan
Manakala janji setia diingkari maut
Melemparkannya sejauh akal
Mematikan budi
Menyalakan nyali

Denting tangis mewarna hari
Hingga pandang tandus
-tiada berair lagi
Ulu hilang nyilu
Kendali hilang hati
Sebab hati tinggal satu
Tertambat pada darah yang pernah dikandung
-masih diselimuti embun
Di mata sang hati, duka tak serius dirabai haus
-janji es krim terbeli

Terlebih di negeri keruh ini
Sedikit yang membela Bapa, Bunda, dan Roh Kudus-nya
Lagi pula,
Ia bukan perawan Maria
Sabar didengki caci dan coba harta
Sebab anak tiada berpapa
            -lagi
Maka Maria ia cipta dalam diri
Mencobai dengkinya caci
Demi sesuap nasi
Agar hidup buah hati memanjang sejengkal lagi

Rosario terlempar bersama tubuh telanjang yang diumbar
Menggodai lelaki blingsatan sepulang perang
Menawarkan perang kekal di ranjang
Untuk ditukar kado mahal

Namanya terbang mengawang
Hingga ke tanah pahlawan tubuhnya terpampang
Kaki panjang, wajah rupawan
Meramaikan kejalangan dalam bilik-bilik yang didirikan
Tiada mahar yang mampu meminang
Dia telah menjelma awan

Hari telah berganti
Menerima kado sudah tak dijalani
Namun, nama terlanjur tersemat di gang laknat
Elak tak datang terlambat
Hanya saja teriakannya begitu lamat
-tentang bilik yang disewakan
-tentang ketelanjangan lain yang tak dijual
-tentang nyawa-nyawa yang ditopang
Namun, nama terlanjur tersemat di gang laknat
Waktu bukan sahabat
Selalu kejam, selalu jahat
Hingga ajal kembali berkhianat
Menikam waktunya yang melesat

Jember, 13 Desember 2015
Hujan deras menembus atap kamar.






Jumat, 11 Desember 2015

CERITA BERSAMBUNG "Pon-Kliwon"


PON-KLIWON 
 

Hari sudah malam ketika Pon mengetuk rumah Kliwon. Suara jangkrik di sawah seperti jamaah yang sedang berwirid di Langgar. Pintu yang hanya terbuat dari triplek itu berkeriyet-keriyet ketika di buka.
“Ada apa, Yu?” Kliwon membenahi gulungan sarungnya. Pipinya bergaris-garis bekas bantal.
“Maaf, Kang. Malam ini, apa boleh aku tidur di sini?” Pon berkali-kali menoleh ke belakang seolah takut seseorang mengikuti.
Kliwon membuka pintunya lebih lebar. Kepalanya dihentak ke arah dalam, berisyarat pada Pon agar segera masuk. Ia lekas-lekas menutup pintu begitu badan Pon sudah ada di dalam rumah sepenuhnya. Mata Pon berkeliaran ke seluruh sudut rumah sebelum duduk.
“Ten sudah tidur.” Kliwon menjawab sebelum Pon bertanya. “Ada apa lagi? Apa Kang Min memukulmu lagi?”
Pon menggeleng, “Kang Min kuikat di ranjang ketika pulas karena kuberi CTM.”
“Kau sudah gila, Yu?” Teriak Kliwon tertahan, takut membangunkan istrinya.
“Dia yang mulai tidak waras, Kang.” Pon mulai menangis tanpa suara.
“Lho, ini ada apa to?” Ten tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamarnya yang langsung terhubung dengan ruang tamu.
Kliwon mengisyaratkan agar Ten membawa Pon masuk ke kamar mereka. Percuma menanyai Pon kalau dia sudah mulai menangis. Lebih baik membiarkannya beristirahat, besok pagi-pagi akan kutanyai dia. Begitu batin Kliwon. Malam ini dia akan tidur di lincak ruang tamu.
***
Suara kokok ayam sudah lebih dulu berbunyi ketimbang adzan di Langgar. Sepagi itu, seperti biasa Ten sudah menyalakan tungkunya. Mulai merebus air untuk mengaru tanakan nasinya nanti, sekalian untuk membuat wedang. Bedanya, kali ini yang pergi ke sumur mencuci beras bukan dirinya, melainkan kembaran suaminya. Pon dan Kliwon adalah kembar yang berjarak dua hari.
Subuh itu, Kliwon mengimami Ten, Pon, dan dua anaknya yang juga kembar. Pon begitu khusyuk dalam doanya. Air matanya mulai menetes. Beberapa kali Pon menghirup napas dalam-dalam berusaha mengusir tonjolan yang mengisi dadanya. Anak-anak Kliwon melirik penasaran. Tak berani bertanya-tanya, takut Bapaknya mengamuk. Mereka segera bubar ketika doa subuh itu usai.
Kliwon menghirup wedang jahenya. Menontoni Pon dan Ten memotong-motong sayuran dan menyiapakan bumbu-bumbu. Anak kembarnya sedang bersih-bersih halaman seperti biasanya. Mereka anak-anak perempuan yang penurut.
“Ayo, kuantar pulang, Yu...” Ujar Kliwon akhirnya.
“Tunggu matahari lebih tinggi ya, Kang. Aku masih takut.”
“Ada, apa to sebenarnya, Yu?” Ten ikut bertanya.
“Kang Min yang tiga hari lalu tidak pulang-pulang rupanya pergi ke dukun di Kali Sekar. Kali ini syaratnya lebih aneh-aneh, Yu. Mungkin Kang Min tidak benar-benar ketemu dukun, tapi kesambet demit Kali Sekar.”
“Memangnya apa yang diperbuat Kang Min?” Kliwon menyelidik.
Seluruh peristiwa itu masih lekat di mata Pon. Pon tidak menangis. Ceritanya lancar sekali. Hari itu, suaminya sudah di rumah ketika Pon pulang untuk sholat dhuhur dari sawah. Duduk di kursi ruang tamu menungguinya pulang. Di meja ada bungkusan kain putih dan kendi. Pon ingin sekali menghambur memeluknya, tapi dia tak berani. Mata suaminya masih sama menatap nyalang dan menikam selama 5 tahun terakhir ini. Kang Minnya ingin sekali punya anak dari dulu.
#Bersambung...

Kamis, 10 Desember 2015

PUISI PATIDUSA

Ini ilmu baru.
Pertama kali dengar nama puisi ini, saya langsung mengira bahwa puisi ini tentang sesuatu yang berkenaan dengan dosa. Otak saya menduga-duga puisi ini dimaksudkan untuk mengisahkan tentang peristiwa-peristiwa yang tidak terlalu dosa...xixixi. BIG WRONG!

Bener-bener nggak tahu PATIDUSA itu apa? dan begonya nggak nyari tau. Eh, di group FB sebuah penulisan yang saya ikuti tanpa disangka memberikan materi ini. Barulah saya tahu bahwa puisi PATIDUSA berkenaan dengan bentuk puisi. Jadi dia adalah sebuah gender puisi. Padahal group FB puisi PATIDUSA yang dikelola pencetusnya sudah lama muncul di beranda FB mengajak diri ini untuk bergabung. Rupanya saya memang harus mendapatkan ilmu ini dari ladang lain. 

Nah, adapun puisi ini banyak sekali jenisnya. Tapi, garis besarnya puisi ini terdiri dari 1-2-3-4 kata perbait atau sebaliknya. Bentuk bolak-balik yang berbeda itulah yang menjadi jenis puisi ini beragam. Jumlah baitnyatidak terikat, Puisi PATIDUSA asli mempunyai pola  4-3-2-1 | 1-2-3-4 | 4-3-2-1 | 1-2-3 4 dst. Puisi PATIDUSA bias mempunyai pola 1-2-3 4 | 4-3-2-1 | 1-2-3-4 | 4-3-2-1 dst. Selain itu masih ada puisi PATIDUSA cemara, PATIDUSA tangga, dan kalau tidak salah masih ada yang lain, hehe (maap lupa).  Owh ya...setiap bait harus dipisahkan dengan enter. Ini contoh puisi PATIDUSA yang saya buat hari ini. Saya juga memuatnya di group FB yang saya ikuti sebenarnya. 

#1 PATIDUSA_BIAS

BASA-BASI

Basi
Basa basimu
Sudah basi benar
Basamu benar sudah basi

Benar kamu sudah basi
Basamu basi benar
Basi basamu
Pasti
 
#2  PATIDUSA_TANGGA

IBU

Setiap hari berselempang peluh
Tanpa terucap keluh
Meski keruh
Sungguh 

Kau punya seuntai waktu
Didermakan satu persatu
Luput waktu
Berlalu

Berdiri tegar sejak fajar
Sepenuh isi kalbu
Tanpa makar 
Sedu

Berdiri tegar hingga malam
Kuasa menahan kelu
Kau penentram
Ibu


Rabu, 09 Desember 2015

Cerita Kontribusi "INDAHNYA NEGRIKU"

Ini cerita yang kutulis dalam rangka mengikuti tugas menulis di sebuah group  facebook milik penerbitan indie. Owner sekaligus adminnya masih muda banget, tapi keren udah bisa bikin usaha macam begini. Setiap hari selasa diadakan kelas menulis cerita dan hari rabunya kelas menulis puisi. Nah, tulisanku ini dibikin setelah mengikuti materi di kelas menulis cerita. Kalau penasaran langsung aja cek di www.nauvabook.com.


INDAHNYA NEGERIKU

Setiap kali duduk bersandar pada pohon. Memandang lautan padi yang menghijau dari atas bukit ini. Rasanya jiwaku sedang beranak. Alam begitu besar. Begitu berkuasa. Manusia kerdil seketika. Sejauh mata memandang hanya sawah yang terhampar. Manusia hanyalah noda. Jauh di ujung-ujung pandang, pohon berbaris. Kokoh menjadi pagar-pagar lereng perbukitan yang kian meninggi. Menopang gunung. Mencengkeram batu-batu besar yang dikandungnya.
Dari sini, jika kau mau tengadah sedikit saja. Awan-awan seputih kapas berterbangan ringan. Membentuk mimpi-mimpinya bersama langit. Berdialog tentang cuaca bersama warna, kecepatan angin, dan massanya sendiri. Burung menggagahi angin. Mengejar langit yang tak pernah lelah di ketiggian. Bersuka mengirim pesan cuaca. Atau sekedar berpesta manakala fajar berkelana dan senja menampakkan wajahnya.
Setiap kali aku duduk di sini, aku tak lagi merasa perlu mengangkuhi Semeru. Berdiri di atas awan setelah mempersembahkan nyawa pada maut. Pulang meninggalkan bungkus-bungkus mie instan yang beralih tugas membungkus lereng Semeru. Atau memercik api sebab perapian tak benar-benar padam.
Jika ingin berdiri di atas awan kemarilah. Datang ke bukit ini setelah subuh saat kabut jatuh mencium bumi. Berdirilah di sini, tatap ke timur. Matahari hanya seperti lampu neon di kejauhan. Matamu tak akan sakit melihatnya. Diamlah di sini, tunggu matahari merangkak sedikit lagi. Ketika matahari mulai merona malu pada angkasa. Kau akan melihat lautan awan menutup padi yang baru tumbuh. Kabut menggeliat malas di kakimu. Perlahan, dia akan terbang seiring matahari yang semakin berani. Dingin yang sedari subuh tadi kau rasakan berganti rasa hangat. Bahkan hangatnya bisa kau seduh jadi penyemangatmu hari ini.
Di sini, jiwaku serasa terlahir lagi, lagi, dan lagi. Maka, kemarilah jika kau pun ingin jiwa-jiwa baru yang segar. Jiwa-jiwa penuh syukur yang memuji keindahan semesta. Jiwa-jiwa yang mengerti betapa kecilnya manusia. Betapa tak sebandingnya keinginan manusia dan perjalanan sang alam. Di sinilah tempatnya. Di atas bukit kecil yang ditumbuhi belukar dan pohon-pohon tua. Dikelilingi hamparan sawah yang dihuni padi, kala musim hujan begini. Dipagari pohon-pohon yang barangkali hutan, barangkali kebun liar, di kejauhan sana. Di seberang sawah, rumah-rumah begitu pipih tergenjet hijau yang menganga. Ditangkup barisan bukit yang kian tinggi membentuk gugusan pegunungan membiru saking jauhnya.
Tak perlu menyiapkan bekal sepenuh carrier sekian liter lengkap dengan matras, jaket, dan sepatu yang tidak murah-sebab bagus kualitasnya. Tak perlu mengusung tenda dalam mobil off road dan persedian bahan bakar minyak-sebab takut kehabisan di tengah hutan. Tak perlu pula bayar-di sini bahkan tak ada kawanan amarillis yang bisa diinjak-injak. Tak perlu membawa bekal. Jika lapar petik saja mangganya, itu pun kalau berbuah. Jika haus, di dekat sini ada sumber air. Atau, bisa minum di sumur-sumur sawah. Tidak kira mati, sebab airnya tak beracun. Petani-petani di sini sudah membuktikannya. Jadi, jangan banyak tingkah dengan mengatakan air ini tidak higienis. Toh, mie instan yang kau bawa-bawa manakala naik gunung lebih beresiko untuk kesehatanmu.
Disinilah tempatnya, sayang. Tempat yang enggan didekati orang manakala malam merentangkan selendangnya. Sebab jangkrik akan bernyanyi bersama belalang, katak, desau angin, dan patah-patah ranting. Saat seperti itu, bintang bersorak senang. Cahayanya yang butuh ribuan tahun cahaya untuk sampai akhirnya tiba di bumi. Rembulan tak selalu bundar. Bayang-bayang bumi selalu ingin menang. Wajahnya bahkan masih pula dilukai awan yang tak mau menyibak. Terkadang sekelebat bayangan putih atau pijar bola api lewat. Terkadang ada pula suara cekikikan di atas dahan atau tangis tertahan di antara semak.
Jadi, bukankah di sinilah tempat yang paling tepat untukmu berpetualang? Tadabbur? Ngetrip? Adu nyali? Apapun kau menamainya. Mengapa kau harus berjalan kaki ribuan meter menanjak? Padahal, di tengah kota kau tak tahan tanpa berkendara meski itu hanya sepelemparan bola. Mengapa kau mati-matian mengganjal perut dengan mie instan? Padahal, di tengah kota kau coba semua makanan. Mengapa kau harus sisakan banyak waktu demi sekelumit kebanggaan? Di rumah ayah-ibumu resah menunggu anaknya pulang.
Kau berkali-kali tersenyum manakala aku mencecarmu dengan pertanyaan dan pernyataan. Senyum yang lebih manis daripada senyum hasil jepretan DSLR yang terpajang di instagrammu. Katamu, baru kini kau tahu aku begitu anti ngetrip dan lucunya kau malah suka. Dua tahun kita berteman, bersayang-sayang, begitu aneh kau baru merasakan. Jadi, selama ini sindiranku terlalu halus hingga kau sangka pujiankah? Katamu, amarahku baru nampak setelah tiga kucing hutan itu tanpa dosa disantap seorang gadis yang juga berstatus mahasiswa. Lebih nampak lagi ketika kebun bunga amarillis yang ingin kukunjungi esoknya telah ludes diinjak-injak manusia otak dangkal.
Jadi, ketika setahun lalu kutandaskan mengundangmu untuk berkunjung ke bukit ini seorang diri. Kuingatkan pula agar kau tidak lupa membawa tasbih dan sajadah.  Malah kau mengira aku mengadu nyalimu dengan lelembut? Kau termasuk manusia otak dangkal itu atau aku yang memang tak pandai mengungkap rasa? Baiklah, sekali lagi akan kuceritakan padamu. Sekarang. Sebab sudah kubilang hanya di sini jiwaku beranak. Di sini aku dapat mencumbui semua emosi. Semoga kali ini kau bisa mengenalku dengan benar.
Waktu itu aku mengundangmu, sebab kau bilang akan bolos kuliah 3 hari demi naik gunung merapi yang angker itu. Kau ingin menahlukan sombongnya merapi yang bergoyang-goyang menakuti semua orang. Juga sifatnya yang sok misterius hingga melahirkan dongeng mak lampir yang tak berkesudahan. Dari pada kau ke sana mempersembahkan nyawa yang hanya dibayar banggamu sendiri tanpa memikirkan perasaan orangtuamu, lebih baik kau datang ke bukit ini. Bukit ini tak kalah angker dengan merapi, makanya tak ada yang berani mengeruknya. Kata orang-orang, hanya hati yang tak mengharap apa-apa yang akan selamat. Sudah banyak cerita orang tersesat di bukit kecil ini karena menyimpan niat jahat. Satu, dua bahkan mati tanpa sebab. Untuk itu aku berbangga diri, sebab ratusan kali melamun di sini tak pernah kesurupan apalagi sampai tersesat. Apa sekarang kau sudah mulai merinding?
Di dekat bukit ini, ada sumur tua yang kering. Entah dongeng entah nyata, sumur itu katanya sarang ular-ular sawah. Kala malam, ular-ular sebesar lengan keluar dari sana. Jumlahnya puluhan. Bukit ini jadi salah satu tujuannya mencari santap malam. Belum lagi nyamuk-nyamuk subur seperti yang saat ini mengelilingi kita-untung pakai lotion anti nyamuk. Lalu orang-orang berhati jahat yang kuceritakan barusan. Jika dia tersesat di sini, dia panik, mungkin saja tak segan mengancam dan membunuh lawannya. Mungkin kau akan jadi daftar mayat mengenaskan berikutnya yang ditemukan di sini. Kisah yang seperti ini sudah pernah terjadi. Semua itu adalah unsur horor yang ingin kau cari, bukan?
Jika yang kau cari keindahan alam, maka itu sudah terpampang jelas di depan mata kita sekarang. Tak usah kau sangkal lagi. Sudah kuceritakan di awal. Sudah kau saksikan sedari tadi. Tadi, sewaktu baru datang aku sempat melihat mulutmu menganga. Itulah sebabnya aku ingin kau datang membawa sajadah dan tasbih. Di tempat indah, horor, sekaligus misterius ini aku ingin kau berdzikir. Berserah pada Tuhan atas segala kemungkinan. Bersyukur pada Tuhan atas segala keindahan. Hanya terkagum pada Tuhan yang dapat menciptakan semua hal bersamaan. Kita yang selalu merasa berkuasa atas alam, ternyata hanyalah manusia lemah yang misa di shut down Tuhan kapan saja.
Berhubung kita masih akan lama duduk di sini kuceritakan satu kisah menarik lagi. Mungkin kau akan menganga lagi atau malah mengira aku mengarang. Jika pun ini karangan, sumpah bukan aku yang mengarang. Ceritaku kali ini tentang budaya masyarakat yang bertahan hingga kini. Hal ini juga menjadi alasanmu memutari negri ini, bukan?
Lihatlah gunung membiru di kejauhan sana. Gunung yang tadi kubilang menangkup wilayah ini. Amatilah gunung itu, mumpung cuaca hari ini terang seperti ini. Nanti, kau akan temui bentuk seperti seorang perempuan tidur telentang. Kepalanya di selatan, kakinya di utara. Puncak-puncak gunungnya seperti diukir membentuk siluet dahi, hidung yang amat mancung, dan dagu lancip mempesona. Rambutnya seolah diurai. Semuanya terlihat begitu detail. Bahkan, payudaranya berjajar sama besar. Tapi, percayalah siluet itu tidak diukir dengan peralatan pak tukang yang membangun rumah kita. Bukan para seniman pahat dari Bali. Bukan pula pengukir wajah presiden di gunung Rushmore, Amerika Serikat.
Siluet itu diukir oleh sebuah dongeng yang diawali kata “Pada zaman dahulu kala,”. Tak pernah ada yang tahu kapan dahulu kala yang dimaksudkan. Sejauh ini tak ada sejarahwan yang mengklaim kisah ini tertulis di sebuah lontar tua atau prasasti yang terpendam ribuan tahun lamanya.
Beginilah kelanjutan kisah yang bermula “Pada zaman dahulu kala,” itu. Seorang gadis desa tumbuh semakin cantik. Cantik yang begitu asri sebab, kala itu tentu belum ada kosmetik Cina, apalagi operasi plastik Korea. Gadis desa yang begitu murni sebab belum mengenal cinta. Kala itu belum ada sinetron dari TV yang bisa ditiru anak-anak belum nalar. Gadis desa yang begitu lugu, sebab kala itu belum ada yang mengajarinya gerakan feminisme. Gadis desa yang barangkali hanya dapat mengerti, kelak jika umurnya sudah empat belas tahun harus menikah. Tanpa tahu menikah itu untuk apa.
Bunga yang mekar selalu menarik perhatian, begitu pun gadis ini. Cerita klise pun terulang. Para jejaka datang berebut. Di antaranya adalah jejaka-jejaka otak dangkal. Mereka tak mau kalah antrian. Mereka hanya mau tahu harumnya bunga yang sedang mekar. Menghirup dalam-dalam aromanya meski harus mencabut dari tangkai. Layu dan mati setelahnya bukanlah sebuah urusan besar. Baginya yang terpenting hasratnya telah tercapai. Aroma bunga akan dikenangnya sebagai hasil petualangan yang membanggakan. Gadis itu benar-benar layu. Harapan hidupnya kandas. Dia berlari ke puncak gunung. Menangis hingga ajal menjemput. Semesta ingin mengenangnya. Perlahan-lahan bukit itu terbentuk sedemikian rupa. Gadis malang itu diingat dalam dongeng. Andai saja para petualang mengerti yang dimaksudkannya.
Kau tersenyum getir. Katamu “Jadi kau tak suka, ketika aku turun dari Merapi membawa anggrek hidup untukmu?”
“Ya.”
“Lalu, kenapa kau terima?”
“Kasihan jika anggrek itu mati. Setelah anggrek itu tumbuh subur sekali, akan kutanam di sini.”
“Bukannya sudah beranak?”
“Memang. Tapi, terlalu kecil dan badannya belum gemuk.”
“Jadi, jika kamu begiu mencintai bukit ini, negri ini, kenapa kamu begitu ingin ke Inggris?”
Aku tersenyum puas. Kau menanyakan pertanyaan yang kutunggu-tunggu. Coba, seberangilah mataku. Mengapa aku begitu ingin ke sana? Tak bisakah kau tebak?
Inggris negri yang begitu wibawa di mataku. Gedung-gedungnya menjulang dibangun dengan tembok tebal nan kokoh. Negara yang begitu lama bertahan dalam kuasa. Namun, masih menyimpan arti bertatakrama. Bahasanya digunakan di seluruh dunia. Pendidikannya diantri jutaan calon pelajar. Masa telah berganti, namun negri ini bertahan dipimpin oleh raja dan ratunya. Banyak tempat wisata yang menghijau. Sejuk dipandang mata. Banyak museum, semua sejarah dan legenda disimpan di sana.
Di sana aku ingin menguji cinta. Aku percaya negriku adalah hal terindah yang kupunya. Negri terkaya. Bahkan, tanpa bekerja pun aku bisa makan. Tinggal kusiram tanaman-tanaman setiap hari. Kupelihara ternak. Lalu tanaman dan ternak kuberi makan silang. Aku tak perlu melihat pemimpin yang mulai goyah karena ujian harta. Aku hanya perlu melihat para petaninya, nelayannya, budayawannya, dan orang-orang yang masih percaya negri ini bisa dibanggakan serta tetap sekaya dahulu. Lalu, cinta ini akan membuatku yang ada di sana merindu bumiku, bukitku. Aku pun akan menggumamkan lagu puji-pujian untuk negriku, biarlah mereka tak mengerti mengapa aku masih cinta negri penuh drama ini. Air mataku akan meleleh dan aku tak kuasa menahan pulang, biarlah mereka mengira aku bodoh mau kembali ke negri yang serba sulit ini. Keindahan negri lain tak mampu membendung cinta pada negriku sendiri. Aku percaya, di sinilah rumahku. Maka, ketika rindu tak mampu kutampung. Aku segera pulang, sebab tak akan tahan berenang dalam tanya, “Masihka bukitku kokoh berdiri?”
Lihatlah! Di kejauhan sana bukit itu tinggal separuh, yang separuh sudah diangkut truk untuk sekedar dijadikan tanah urug. Beberapa sudah lenyap menjadi sawah. Ketika tidak cukup, mereka mulai merangkak ke lereng gunung. Merobohkan pohonnya. Mengeruk bukitnya. Menggulingkan batunya. Mereka melakukannya sambil berkata “Demi masa depan yang lebih baik, pembangunan akan terus dilakukan.”
Kau sekali lagi tertawa getir. Aku tahu, di hatimu, kau menilai negeri ini sudah sangat miris keadaannya. Oleh sebab itu, kau mendaki ke sana- ke mari mencari kebenaran. Mencari Tuhan. Mencari keindahan yang tersisa dari negeri ini untuk kau cintai. Tapi, terkadang kau lupa. Kau terlalu narsis dan hanya ingin memuaskan ego sendiri. Bersama teman-teman sekelompokmu sebenarnya. Kau bawa-bawa bendera. Kau kibarkan di setiap puncaknya. Kau bawa sajadah kau sujud di setiap tempatnya. Padahal negeri ini hanya ingin kau menjadi generasi yang benar. Tentu negeri ini tak hendak menjadikan orang yang hanya dapat keluyuran tapi tak pintar untuk dijadikan pemimpinnya. Padahal Tuhan tak minta kau sujud di sana. Tuhan ingin kau sujud di rumah-Nya. Berbuat baik sebanyak-banyaknya. Bukan mendekatkan diri pada bahaya.
Aku tahu, bahkan aku tak lebih baik darimu. Hanya, aku ingin sekali saja menumpahkan caraku mencintai. Aku hanya ingin kau menemaniku mencintai negeri ini dengan sederhana. Lalu kita berdua akan menyanyikan lagunya Gombloh dari bukit sekencang-kencangnya:

“Lestari alamku, lestari desaku
Di mana Tuhanku menitipkan aku
Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa”

Jember, 05 Desember 2015
Dari kamar suara jangkrik bersahutan dengan
sholawat dan deru motor yang sesekali lewat.